Latar belakang
Korea Selatan dalam beberapa dekade ini berhasil menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan, dilihat dari angka dan persistensinya. Pertumbuhan
ekonomi ini berkisar di angka 7-8% setiap tahunnya, semenjak awal 1960. Hal ini
mengubah wajah Korea dari negara miskin menjadi negara industri dan jasa yang
cukup maju. Perubahan yang terjadi ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
terhadap pengembangan sumberdaya manusia yang dilakukan pemerintah Korea
Selatan sejak tahun 1945-an.
Hubungan antara pengembangan sumber daya manusia dengan
pertumbuhan ekonomi ini memang sangat sulit untuk dibuktikan secara matematis.
Becker, Murphy dan Tamura (1990) menunjukan bahwa pertumbuhan sumber daya
manusia memiliki dampak terhadap pertumbuhan GDP. Lebih jauh lagi Hayami (2001)
mengatakan bahwa pengembangan pengetahuan melalui investasi di bidang
pendidikan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan produktivitas negara.
Realisasi kebijakan pendidikan di Korea Selatan dan dampak
bagi pertumbuhan
Pengembangan sumber daya manusia ini menjadi fokus utama
kebijakan di dalam politik Korea Selatan, dimulai dari tahun 1945 sampai saat
ini. Kebijakan pendidikan Korea Selatan ini dibuat bertahap, pertama dimulai
dengan penerapan kewajiban bersekolah bagi anak usia sekolah dasar di tahun
1950-an. Diikuti dengan kebijakan pembebasan biaya sekolah kepada siswa sekolah
dasar. Dampak nyatanya adalah meningkatnya jumlah siswa sekolah dasar pada
tahun 1960-an, rasio penerimaan siswa sekolah dasar melewati angka 90%. Setelah
investasi di pendidikan dasar, kemudian dilanjutkan ke pendidikan menengah
pertama, tahun 1979 rasio penerimaan siswa menengah pertama ini mencapai 90%.
Sedangkan kebijakan untuk sekolah menengah atas dimulai sejak 1980-an, rasio
penerimaan 90% dicapai pada akhir tahun 1990-an. Pendidikan tinggi juga
mengalami pencapaian luar biasa semenjak 1980-an sampai pertengahan 1990-an
dimana rasio penerimaan mencapai 60%, ini merupakan angka yang cukup besar saat
itu.
Kebijakan pendidikan ini cukup berperan besar dalam peta
perjalanan ekonomi Korea Selatan. Periode pembangunan Korea Selatan sebagai
negara Industri dimulai semenjak tahun 1970-an, hal tersebut dimungkinkan karena
adanya ketersediaan tenaga kerja terdidik. Industri-industri manufaktur yang
waktu itu masih mengandalkan peralatan dari luar negeri mulai berkembang. Peran
penting pemerintah pada periode sebelumnya berkaitan dengan kegiatan industri
ini adalah dengan mengeluarkan kebijakan ekspor yang berpihak pada
industri-industri lokal. Kemudian akhir tahun 1980-an industri-industri
tersebut telah berkembang menjadi industri-industri mandiri dengan mengurangi
ketergantungan terhadap teknologi luar negeri. Hal inipun dimungkinkan karena
pada periode tersebut korea memiliki lulusan-lulusan pendidikan tinggi yang
memiliki kecerdasan dan keahlian.
Sampai pertengahan 1990-an, industri-industri di korea masih
berorientasi terhadap proses manufaktur produk. Namun pada akhir 1990-an,
pemerintah mulai mengganti kebijakan ekonomi industri dari yang semula
berorientasi pada manufaktur produk-produk menjadi berorientasi kepada
pengembangan produk yang berbasis pengetahuan. Untuk mendukung kebijakan ini
pemerintah mengganti kebijakan pendidikan tinggi yang tadinya fokus ke masalah
pendanaan sekolah menjadi berorientasi untuk menciptakan lingkungan intelektual
yang mendukung tumbuhnya inovasi. Langkah nyata pemerintah Korea Selatan adalah
dengan mengeluarkan proyek BK 21, yaitu proyek ambisius Korea Selatan untuk
menciptakan masyarakat modern yang berbasis ilmu pengetahuan.
Banyak pakar yang mengira persentasi pertumbuhan ekonomi
Korea Selatan yang sangat tinggi disebabkan oleh besarnya investasi di bidang
pendidikan. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena jika dibandingkan
dengan negara-negara maju lain investasi tersebut masih berada dibawah
rata-rata. Hal yang sangat mempengaruhi besarnya pertumbuhan ekonomi di korea
Selatan selain investasi pemerintah di bidang pendidikan, adalah kebijakan
pemerintah terutama mengenai ekonomi yang mendukung tumbuhnya industri.
Industri tersebut kemudian menjadi mesin ekonomi yang efektif karena
perkembangannya disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja yang dihasilkan
oleh sistem pendidikan.
Faktor terakhir adalah faktor sosio-kultur, yaitu paradigma
masyarakat Korea terhadap pendidikan. Masyarakat Korea sangat mengapresiasi
pendidikan, tidak hanya sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik tetapi juga sebagai bentuk pengakuan sosial, yaitu sebuah simbol
kehormatan seseorang. Bahkan beberapa referensi menyebutkan bahwa masyarakat
Korea Selatan sangat terobsesi dengan pendidikan ini. Hal ini bisa terlihat
dari tinggi nya partisipasi masyarakat dalam pendidikan ini, baik dalam
mengikuti pendidikan ataupun dalam pembiayaannya. Hal ini memudahkan program
pemerintah untuk meningkatkan rasio penerimaan siswa di setiap jenjang
pendidikan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia dibandingkan Korea
Selatan
Stategi kebijakan pendidikan Indonesia tertinggal 50 tahun
dibanding Korea Selatan, hal ini bisa kita lihat dari kebijakan pembebasan
biaya sekolah dasar. Isu pembebasan biaya sekolah dasar baru hangat di awal
tahun 2004 dan sampai saat ini itupun belum sepenuhnya terlaksana. Kemudian
jika kita bandingkan angka partisipasi atau rasio penerimaan siswa, Indonesia
juga masih tertinggal. Berdasarkan data tahun 2008, rasio penerimaan pendidikan
dasar mencapai 90%, pendidikan menengah pertama mencapai 60% dan pendidikan
menengah baru mencapai 40%. Rasio tersebut tertinggal dari Korea Selatan yang
telah mencapai angka 90% untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas
semenjak akhir 1990-an. Investasi pemerintah Indonesia di bidang pendidikan pun
masih tergolong rendah yaitu berada di angka 3.5% (dibandingkan terhadap GDP),
sedangkan Korea berada di angka 4.2%.
Kebijakan ekonomi di Indonesia pun tidak berjalan dengan
baik. Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang pernah diusulkan di
periode pemerintahan Soeharto tidak menunjukkan hasil memuaskan.
Keberlanjutannya praktis terhenti semenjak Soeharto tidak lagi menjabat sebagai
Presiden. Padahal jika dilihat lebih detail rencana pembangunan ini tidak jauh
berbeda rencana pembangunan di Korea Selatan. Kondisi ekonomi Indonesia berada
pada level terendah ketika terjadi krisis moneter di tahun 1997, oleh karena
itu beberapa industri yang disiapkan sebagai industri lokal yang akan menjadi
penggerak kegiatan ekonomi juga terkena dampak serius dari krisis tersebut.
Kebijakan pendidikan dan ekonomi di Korea Selatan lebih
terarah dan sistematis, dimana perbaikan dilakukan hampir setiap 7-8 tahun.
Kurikulum yang mereka pergunakan saat ini dikenal sebagai “Sixth Revised
Curriculum”. Sedangkan kebijakan pendidikan dan ekonomi yang diambil di Indonesia
selepas krisis moneter 1997 lebih mirip sebagai kebijakan temporer, dimana
selalu berganti seiring pergantian kepemimpinan. Dan sampai saat ini pun
pemerintah belum sanggup untuk memetakan stategi kebijakan pendidikan dan
ekonomi jangka panjang. Perencanaan kebijakan yang tidak berencana menyiapkan
Indonesia jauh ke depan dan tidak selaras antara kebijakan pendidikan, ekonomi
dan pemerintahan tidak akan menghantarkan Indonesia pada pencapaian yang
maksimal.
Faktor sosio-kultur pun ikut berpengaruh dalam keberjalanan
pendidikan dan ekonomi di Indonesia. Pendidikan masih belum mendapatkan
apresiasi yang baik dari seluruh masyarakat Indonesia. Rendahnya minat
bersekolah masih sangat terasa di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi
akibat kurangnya pemerataan pembangunan dan informasi di Indonesia. Pemerintah
seharusnya mulai menggerakan semua sektor baik publik ataupun swasta untuk
mengubah cara pandang mengenai pendidikan ini.
Pemerintah Indonesia masih menjadi faktor dominan penentu
keberhasilan penerapan kebijakan pendidikan dan ekonomi ini, dimana seharusnya
sanggup untuk mengkolaborasikan pemerintahan, pendidikan dan industri dalam
kerangka tujuan yang sama. Selama kebijakan ketiganya masih dalam kerangka yang
terpisah, pengembangan sumber daya manusia Indonesia menjadi manusia unggul
seperti yang dicita-citakan konstitusi tidak akan pernah tercapai. Dengan
kondisi tersebut, produktivitas masyarakat pun tidak akan pernah meningkat
sehingga pada akhirnya berimbas kepada kondisi ekonomi yang tidak kunjung
membaik.
Referensi:
Becker, G.S., K.M. Murphy, and R. Tamura. (1990). “Human
Capital, Fertility, and Economic Growth, Journal of Political Economy.” XCVIII,
S12-37. Hayami, Y. (2001).
“Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations (2nd ed.).”
Oxford: Oxford University Press. Kemendiknas Republik Indonesia.
“Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.”
Jakarta, Indonesia. Lee, Jisson. (2002). “Education Policy in the
Republic of Korea: Building Block or Stumbling Block?” The World Bank. Lee,
Jong-Hwa. “Economic Growth and Human Development in the Republic of Korea,
1945-1992.” Occasional Paper 24. United Nations Development Programme. Ministry
of Education Republic of Korea, “Education in Korea:1991-1992,” Seoul, Korea.
Author. Moon, Mougyeong, and Ki-Seok Kim. (2001). “A Case of Korean
Higher Education Reform: The Brain Korea 21 Project.” Asia Pacific Education
Review. Vol.2, No.2, 96-105. Sektor Pendidikan Dasar UNESCO (2005).
“Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini.”
UNESCO/OECD.
0 komentar:
Posting Komentar