Senin, 21 Mei 2012


Latar belakang

Korea Selatan dalam beberapa dekade ini berhasil menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan, dilihat dari angka dan persistensinya. Pertumbuhan ekonomi ini berkisar di angka 7-8% setiap tahunnya, semenjak awal 1960. Hal ini mengubah wajah Korea dari negara miskin menjadi negara industri dan jasa yang cukup maju. Perubahan yang terjadi ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan terhadap pengembangan sumberdaya manusia yang dilakukan pemerintah Korea Selatan sejak tahun 1945-an.
Hubungan antara pengembangan sumber daya manusia dengan pertumbuhan ekonomi ini memang sangat sulit untuk dibuktikan secara matematis. Becker, Murphy dan Tamura (1990) menunjukan bahwa pertumbuhan sumber daya manusia memiliki dampak terhadap pertumbuhan GDP. Lebih jauh lagi Hayami (2001) mengatakan bahwa pengembangan pengetahuan melalui investasi di bidang pendidikan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan produktivitas negara.

Realisasi kebijakan pendidikan di Korea Selatan dan dampak bagi pertumbuhan

Pengembangan sumber daya manusia ini menjadi fokus utama kebijakan di dalam politik Korea Selatan, dimulai dari tahun 1945 sampai saat ini. Kebijakan pendidikan Korea Selatan ini dibuat bertahap, pertama dimulai dengan penerapan kewajiban bersekolah bagi anak usia sekolah dasar di tahun 1950-an. Diikuti dengan kebijakan pembebasan biaya sekolah kepada siswa sekolah dasar. Dampak nyatanya adalah meningkatnya jumlah siswa sekolah dasar pada tahun 1960-an, rasio penerimaan siswa sekolah dasar melewati angka 90%. Setelah investasi di pendidikan dasar, kemudian dilanjutkan ke pendidikan menengah pertama, tahun 1979 rasio penerimaan siswa menengah pertama ini mencapai 90%. Sedangkan kebijakan untuk sekolah menengah atas dimulai sejak 1980-an, rasio penerimaan 90% dicapai pada akhir tahun 1990-an. Pendidikan tinggi juga mengalami pencapaian luar biasa semenjak 1980-an sampai pertengahan 1990-an dimana rasio penerimaan mencapai 60%, ini merupakan angka yang cukup besar saat itu.
Kebijakan pendidikan ini cukup berperan besar dalam peta perjalanan ekonomi Korea Selatan. Periode pembangunan Korea Selatan sebagai negara Industri dimulai semenjak tahun 1970-an, hal tersebut dimungkinkan karena adanya ketersediaan tenaga kerja terdidik. Industri-industri manufaktur yang waktu itu masih mengandalkan peralatan dari luar negeri mulai berkembang. Peran penting pemerintah pada periode sebelumnya berkaitan dengan kegiatan industri ini adalah dengan mengeluarkan kebijakan ekspor yang berpihak pada industri-industri lokal. Kemudian akhir tahun 1980-an industri-industri tersebut telah berkembang menjadi industri-industri mandiri dengan mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar negeri. Hal inipun dimungkinkan karena pada periode tersebut korea memiliki lulusan-lulusan pendidikan tinggi yang memiliki kecerdasan dan keahlian.
Sampai pertengahan 1990-an, industri-industri di korea masih berorientasi terhadap proses manufaktur produk. Namun pada akhir 1990-an, pemerintah mulai mengganti kebijakan ekonomi industri dari yang semula berorientasi pada manufaktur produk-produk menjadi berorientasi kepada pengembangan produk yang berbasis pengetahuan. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintah mengganti kebijakan pendidikan tinggi yang tadinya fokus ke masalah pendanaan sekolah menjadi berorientasi untuk menciptakan lingkungan intelektual yang mendukung tumbuhnya inovasi. Langkah nyata pemerintah Korea Selatan adalah dengan mengeluarkan proyek BK 21, yaitu proyek ambisius Korea Selatan untuk menciptakan masyarakat modern yang berbasis ilmu pengetahuan.
Banyak pakar yang mengira persentasi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang sangat tinggi disebabkan oleh besarnya investasi di bidang pendidikan. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena jika dibandingkan dengan negara-negara maju lain investasi tersebut masih berada dibawah rata-rata. Hal yang sangat mempengaruhi besarnya pertumbuhan ekonomi di korea Selatan selain investasi pemerintah di bidang pendidikan, adalah kebijakan pemerintah terutama mengenai ekonomi yang mendukung tumbuhnya industri. Industri tersebut kemudian menjadi mesin ekonomi yang efektif karena perkembangannya disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan.
Faktor terakhir adalah faktor sosio-kultur, yaitu paradigma masyarakat Korea terhadap pendidikan. Masyarakat Korea sangat mengapresiasi pendidikan, tidak hanya sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik tetapi juga sebagai bentuk pengakuan sosial, yaitu sebuah simbol kehormatan seseorang. Bahkan beberapa referensi menyebutkan bahwa masyarakat Korea Selatan sangat terobsesi dengan pendidikan ini. Hal ini bisa terlihat dari tinggi nya partisipasi masyarakat dalam pendidikan ini, baik dalam mengikuti pendidikan ataupun dalam pembiayaannya. Hal ini memudahkan program pemerintah untuk meningkatkan rasio penerimaan siswa di setiap jenjang pendidikan.

Perkembangan pendidikan di Indonesia dibandingkan Korea Selatan

Stategi kebijakan pendidikan Indonesia tertinggal 50 tahun dibanding Korea Selatan, hal ini bisa kita lihat dari kebijakan pembebasan biaya sekolah dasar. Isu pembebasan biaya sekolah dasar baru hangat di awal tahun 2004 dan sampai saat ini itupun belum sepenuhnya terlaksana. Kemudian jika kita bandingkan angka partisipasi atau rasio penerimaan siswa, Indonesia juga masih tertinggal. Berdasarkan data tahun 2008, rasio penerimaan pendidikan dasar mencapai 90%, pendidikan menengah pertama mencapai 60% dan pendidikan menengah baru mencapai 40%. Rasio tersebut tertinggal dari Korea Selatan yang telah mencapai angka 90% untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas semenjak akhir 1990-an. Investasi pemerintah Indonesia di bidang pendidikan pun masih tergolong rendah yaitu berada di angka 3.5% (dibandingkan terhadap GDP), sedangkan Korea berada di angka 4.2%.
Kebijakan ekonomi di Indonesia pun tidak berjalan dengan baik. Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang pernah diusulkan di periode pemerintahan Soeharto tidak menunjukkan hasil memuaskan. Keberlanjutannya praktis terhenti semenjak Soeharto tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Padahal jika dilihat lebih detail rencana pembangunan ini tidak jauh berbeda rencana pembangunan di Korea Selatan. Kondisi ekonomi Indonesia berada pada level terendah ketika terjadi krisis moneter di tahun 1997, oleh karena itu beberapa industri yang disiapkan sebagai industri lokal yang akan menjadi penggerak kegiatan ekonomi juga terkena dampak serius dari krisis tersebut.
Kebijakan pendidikan dan ekonomi di Korea Selatan lebih terarah dan sistematis, dimana perbaikan dilakukan hampir setiap 7-8 tahun. Kurikulum yang mereka pergunakan saat ini dikenal sebagai “Sixth Revised Curriculum”. Sedangkan kebijakan pendidikan dan ekonomi yang diambil di Indonesia selepas krisis moneter 1997 lebih mirip sebagai kebijakan temporer, dimana selalu berganti seiring pergantian kepemimpinan. Dan sampai saat ini pun pemerintah belum sanggup untuk memetakan stategi kebijakan pendidikan dan ekonomi jangka panjang. Perencanaan kebijakan yang tidak berencana menyiapkan Indonesia jauh ke depan dan tidak selaras antara kebijakan pendidikan, ekonomi dan pemerintahan tidak akan menghantarkan Indonesia pada pencapaian yang maksimal.
Faktor sosio-kultur pun ikut berpengaruh dalam keberjalanan pendidikan dan ekonomi di Indonesia. Pendidikan masih belum mendapatkan apresiasi yang baik dari seluruh masyarakat Indonesia. Rendahnya minat bersekolah masih sangat terasa di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemerataan pembangunan dan informasi di Indonesia. Pemerintah seharusnya mulai menggerakan semua sektor baik publik ataupun swasta untuk mengubah cara pandang mengenai pendidikan ini.
Pemerintah Indonesia masih menjadi faktor dominan penentu keberhasilan penerapan kebijakan pendidikan dan ekonomi ini, dimana seharusnya sanggup untuk mengkolaborasikan pemerintahan, pendidikan dan industri dalam kerangka tujuan yang sama. Selama kebijakan ketiganya masih dalam kerangka yang terpisah, pengembangan sumber daya manusia Indonesia menjadi manusia unggul seperti yang dicita-citakan konstitusi tidak akan pernah tercapai. Dengan kondisi tersebut, produktivitas masyarakat pun tidak akan pernah meningkat sehingga pada akhirnya berimbas kepada kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik.

Referensi:
Becker, G.S., K.M. Murphy, and R. Tamura. (1990). “Human Capital, Fertility, and Economic Growth, Journal of Political Economy.” XCVIII, S12-37. Hayami, Y. (2001). “Development Economics: From the Poverty to the Wealth of Nations (2nd ed.).” Oxford: Oxford University Press. Kemendiknas Republik Indonesia. “Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.” Jakarta, Indonesia. Lee, Jisson. (2002). “Education Policy in the Republic of Korea: Building Block or Stumbling Block?” The World Bank. Lee, Jong-Hwa. “Economic Growth and Human Development in the Republic of Korea, 1945-1992.” Occasional Paper 24. United Nations Development Programme. Ministry of Education Republic of Korea, “Education in Korea:1991-1992,” Seoul, Korea. Author. Moon, Mougyeong, and Ki-Seok Kim. (2001). “A Case of Korean Higher Education Reform: The Brain Korea 21 Project.” Asia Pacific Education Review. Vol.2, No.2, 96-105. Sektor Pendidikan Dasar UNESCO (2005). “Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini.” UNESCO/OECD.

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Pages

Lencana Facebook

Ahmad Mu'alim. Diberdayakan oleh Blogger.

FOLLOWERS...

Mey Profilee...!!!

Foto saya
Madieoen, Jawa Tiemoer, Indonesia
tak ada yang istimewa dari ku tapi aku ingin membuat sesuatu yang istimewa sehingga aku pun juga akan terlihat istimewa...hehehe <(^_^)>

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget